UU 13 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU 6 2023 Cipta Kerja


Catatan:
Warna biru telah DIUBAH dan warna merah telah DIHAPUS Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU 6/2023. Klik khusus Klaster Ketenagakerjaan.
_________


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: 
a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; 
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaanuntuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha; 
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali; 
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.

Mengingat: 
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: 
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. 
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan,pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; 
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; 
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakiliperusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. 
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. 
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan denganhubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. 
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yangmerupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. 
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam. 
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. 
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. 

Pasal 4

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; 
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. 
 
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA

Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. 
 
Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. 

BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7

(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi:
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi: 
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta. 
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELATIHAN KERJA

Pasal 9

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan  kesejahteraan.

Pasal 10

(1) Pelatihan kerja dilaksanakan denganmemperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. 
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.

Pasal 12

(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Diubah menjadi:

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh: 
a. lembaga pelatihan kerja pemerintah; 
b. lembaga pelatihan kerja swasta; atau
c. lembaga pelatihan kerja perusahaan. 
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja. 
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
(4) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. 

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. 
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Diubah menjadi:

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 
(2) Bagi lembaga pelatihan kerja swasta yang terdapat penyertaan modal asing, perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. 
(3) Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 

Pasal 15

Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:
a. tersedianya tenaga kepelatihan; 
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan; 
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan 
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.

Pasal 16

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 17

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di dalam pelaksanaannya ternyata:
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan. 
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15. 
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18

(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. 
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja. 
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman. 
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang 
independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan. 

Pasal 20

(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor. 
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 21

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.

Pasal 22

(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 23

Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24

Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pasal 25

(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. 

Pasal 26

(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan:
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 27

(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan. 
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.

Pasal 28

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga 
koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan. 
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.

Pasal 30

(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional. 
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA

Pasal 31

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. 

Pasal 32

(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

Pasal 33

Penempatan tenaga kerja terdiri dari:
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34

Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.

Pasal 35

(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. 
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajibmemberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36

(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur:
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja. 

Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari:
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum. 
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Diubah menjadi:

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas: 
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan 
b. lembaga penempatan tenaga kerja swasta. 
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. 
(3) Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 

Pasal 38

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39

(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.

Pasal 40

(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.

Pasal 41

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 42 

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. 
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. 
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.

Diubah menjadi:

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. 
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. 
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi: 
a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau 
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. 
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. 
(5) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia. 
(6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing. 
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 44

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. 

Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan 
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.

Diubah menjadi:

Pasal 45 Pasal  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: 
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; 
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing; dan 
c. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu. 

Pasal 46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya. 
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Diubah menjadi:

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya. 
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. 
(3) Ketentuan mengenai besaran dan penggunaan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. 

Pasal 49 

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.

Diubah menjadi:

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan Pemerintah

BAB IX
HUBUNGAN KERJA

Pasal 50
 
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Pasal 51

(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. 
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. kesepakatan kedua belah pihak; 
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. 

Pasal 53

Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat: 
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; 
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; 
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan; 
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Diubah menjadi:

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. 
(2) Perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas: 
a. jangka waktu; atau 
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. 
(3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Diubah menjadi:

Pasal 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. 
(2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. 

Diubah menjadi:

Pasal 58 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. 
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. 
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. 
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. 
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Diubah menjadi:

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut: 
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; 
c. pekerjaan yang bersifat musiman; 
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau 
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. 
(2) Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. 
(3) Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Pasal 60

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. 
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila: 
a. pekerja meninggal dunia; 
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; 
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. 
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 

Diubah menjadi:

Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:  
a. pekerja/buruh meninggal dunia; 
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; 
c. selesainya suatu pekerjaan tertentu; 
d. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau 
e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. 
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. 
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. 
(4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. 
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 

Ditambah:
Pasal 61A

Pasal 61A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh. 
(2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. 


Pasal 62

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Pasal 63

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. 
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat pekerja/buruh; 
b. tanggal mulai bekerja; 
c. jenis pekerjaan; dan 
d. besarnya upah.

Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Diubah menjadi:

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang: 

(1) Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.

(2) Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. 
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam 
perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66 

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja /buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak 
berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. 

Diubah menjadi:

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.

(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian kerja waktu tertentu tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.

(5) Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, 
DAN KESEJAHTERAAN

Bagian Kesatu
Perlindungan 

Paragraf 1
Penyandang Cacat 

Pasal 67

(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Diubah menjadi:

Pasal 67 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasan.

(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 2
Anak 

Pasal 68 

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. 

Pasal 69

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. 
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. 

Pasal 70

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. 
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. 

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. 

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 

Pasal 74

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau 
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Perempuan

Pasal 76

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00 wajib: 
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yangberangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00. 
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 4
Waktu Kerja

Pasal 77

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. 
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. 

Diubah menjadi:

Pasal 77 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. 
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. 
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. 
(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.  


Pasal 78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. 
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. 
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Diubah menjadi:

Pasal 78 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: 
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan 
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu. 
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. 
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah. 


Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; 
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Diubah menjadi:

Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pengusaha wajib memberi: 
a. waktu istirahat; dan 
b. cuti. 
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: 
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan 
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. 
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. 
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 80

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81

(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82

(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Pasal 83

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Pasal 84

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Diubah menjadi:

Pasal 84 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, ayat (3), ayat (5), Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.


Pasal 85

(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. 
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. 
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. 

Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86

(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : 
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 87

(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua 
Pengupahan 

Pasal 88

(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. 
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a. upah minimum; 
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain 
di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah; 
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; 
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Diubah menjadi:

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 
(2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 
(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: 
a. upah minimum; 
b. struktur dan skala upah; 
c. upah kerja lembur; 
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; 
e. bentuk dan cara pembayaran upah; 
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan 
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ditambah:
Pasal 88A
Pasal 88A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja. 
(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. 
(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan. 
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 
(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan
denda.

(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah. 

Pasal 88B

Pasal 88B Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Upah ditetapkan berdasarkan: 
a. satuan waktu; dan/atau 
b. satuan hasil. 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Pasal 88C

Pasal 88C Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. 
(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota. 
(3) Penetapan upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari upah minimum provinsi. 
(4) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. 
(5) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. 
(6) Dalam hal kabupaten/kota belum memiliki upah minimum dan akan menetapkan upah minimum, penetapan upah minimum harus memenuhi syarat tertentu.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 


Pasal 88D

Pasal 88D Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum. 
(2) Formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah. 


Pasal 88E

Pasal 88E Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan. 
(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. 


Pasal 88F

Pasal 88F Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).


Pasal 89

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: 
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90
 
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Ditambah:
Pasal 90A

Pasal 90A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan.
 
Pasal 90B

Pasal 90B Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil. 
(2) Upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan. 
(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi usaha mikro dan kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 91

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturanperundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 92

(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Diubah menjadi:

Pasal 92 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. 
(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Ditambah:
Pasal 92A

Pasal 92A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. 

Pasal 93

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan 
pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia; 
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut:
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut:
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; 
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit – dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Diubah menjadi:

Pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. 

Pasal 95

(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Diubah menjadi:

Pasal 95 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. 
(2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur. 
(3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. 

Pasal 96

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. 

Pasal 97

Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 98

(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar. 
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/ Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden. 

Diubah menjadi:

Pasal 98 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan. 
(2) Dewan pengupahan terdiri atas unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, pakar, dan akademisi. 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja dewan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Bagian Ketiga 
Kesejahteraan 

Pasal 99

(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. 
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 100

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 101

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan. 
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 102

(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Pasal 103

Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana:
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama; 
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagian Kedua 
Serikat Pekerja/Serikat Buruh 

Pasal 104

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. 
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha

Pasal 105

(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. 
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal 106

(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. 
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107

(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. 
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari: 
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; dan 
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan

Pasal 108

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 109

Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan.

Pasal 110

(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh. 
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111

(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat: 
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan 
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. 
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.

Pasal 112

(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 113

(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 

Pasal 114

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 115

Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama 

Pasal 116

(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. 
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 117

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 

Pasal 118

Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 119

(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung 
sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 120 

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 121

Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122

Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.

Pasal 123

(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun. 
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124

(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat: 
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. 

Pasal 125

Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.

Pasal 126

(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh. 
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127

(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 128

Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 129

(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 130

(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 131

(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

Pasal 132

(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri. 

Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.

Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial

Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan  industrial yang diatur dengan undang-undang.

Paragraf 2
Mogok Kerja

Pasal 137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. 

Pasal 138

(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139

Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140

(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan. 

Pasal 141

(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja,mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142

(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 143

(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 144

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Pasal 145

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.

Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)

Pasal 146

(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat  gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 147

Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.

Pasal 148

(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149

(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang  ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidangketenagakerjaan segera menyerahkan  masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila:
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140; 
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 

Pasal 150

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Diubah menjadi:

Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. 
(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. 
(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. 

(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 


Ditambah: 

Pasal 151A

Pasal 151A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh Pengusaha dalam hal: 
a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri; 
b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu; 
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau 

d. pekerja/buruh meninggal dunia.  


Pasal 152

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. 
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
 
Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak 
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah; 
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

Diubah menjadi:

Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan: 
a. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; 
b. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
c. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; 
d. menikah; 
e. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; 
f. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan; 
g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; 
h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; 
i. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan
j. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. 
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. 

Pasal 154

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; 
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; 
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.

Ditambah:
Pasal 154A

Pasal 154A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: 
a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan  pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur);
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. perusahaan pailit;
g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: 
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; 
2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 
3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu; 
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh; 
5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau 
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat: 
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; 
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan 
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
o. pekerja/buruh meninggal dunia.
(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Pasal 155

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. 
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; 
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; 
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurangdari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; 
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Diubah menjadi:

Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. 
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: 
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; 
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; 
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; 
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; 
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; 
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; 
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; 
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; 
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. 
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: 
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; 
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; 
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; 
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; 
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; 
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; 
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; 
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah. 
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; 
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja; 
c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari. 
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.

Diubah menjadi:

Pasal 157 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja terdiri atas: 
a. upah pokok; dan
b. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya. 
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikalikan upah sehari. 
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. 
(4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari upah minimum, upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan. 

Ditambah:
Pasal 157A

Pasal 157A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya. 
(2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. 
(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya. 

Pasal 158

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: 
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; 
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; 
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tertangkap tangan; 
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 159

Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 160

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah minimum;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang  mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Diubah menjadi:

Pasal 160 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana,  pengusaha tidak wajib membayar upah, tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut: 
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh lima persen) dari upah; 
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh lima persen) dari upah; 
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh lima persen) dari upah; 
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50% (lima puluh persen) dari upah. 
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. 
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali. 
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. 

Pasal 161

(1) Dalam hal pekerja/ buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 

Pasal 162

(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; 
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan 
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 

Pasal 163

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 164

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. 
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 165

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit,dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 166

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 167

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. 
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 168

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. 
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja. 
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 169

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan 
perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).

Pasal 170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Pasal 171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

Pasal 172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

BAB XIII
P E M B I N A A N 

Pasal 173

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.

Pasal 174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 175

(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan. 
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya. 

BAB XIV
PENGAWASAN

Pasal 176

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 177

Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 178

(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 179

(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 180
 
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 181

Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib:
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

BAB XV
P E N Y I D I K A N

Pasal 182

(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

BAB XVI 
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI 
ADMINISTRATIF 

Bagian Pertama
Ketentuan Pidana 

Pasal 183

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 184

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. 

Diubah menjadi:
Pasal 185 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. 

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Diubah menjadi:

Pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 93 ayat (2), dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. 

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Diubah menjadi:

Pasal 187 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. 


Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. 

Diubah menjadi:

Pasal 188 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, atau Pasal 148, dikenai sanksi pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. 

Pasal 189

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.

Bagian Kedua 
Sanksi Administratif

Pasal 190

(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:
a. teguran; 
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri. 

Diubah menjadi:

Pasal 190 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 61A, Pasal 66 ayat (4), Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), atau Pasal 160 ayat (1) atau ayat (2) Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

BAB XVII 
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 191

Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Ditambah:
Pasal 191A

Pasal 191A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang:

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini: 
a. untuk pertama kali upah minimum yang berlaku, yaitu upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan. 
b. bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah. 

BAB XVIII 
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 192

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 
12. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042);
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 193

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003

SEKRETARIS NEGARA 
REPUBLIK INDONESIA,

ttd. 

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39.

TOPIK POPULER

Contoh Kesimpulan Penggugat di PHI

Contoh Surat Permohonan Perundingan Bipartit Pertama (I) oleh Pekerja

Contoh Surat Kuasa Bipartit dan sekaligus Mediasi Memakai Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Contoh 2 Kontra Memori Kasasi di PHI

UMP Lampung 2024 (Pdf) dan UMK 15 Kabupaten/Kota di Lampung

Replik | Contoh di Pengadilan Hubungan Industrial

Tata Cara Melakukan Perundingan Bipartit Hubungan Industrial

Pasal 156 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Jo. UU 6/2023 (Cipta Kerja)

Pengacara Spesialis Ketenagakerjaan

Duplik | Contoh di Pengadilan Hubungan Industrial